Postingan

Menampilkan postingan dari Desember 2, 2012

Evil of Corruption

Gambar
“Jangan lupa akan penderitaan perintis dan pelopor kemerdekaan bangsamu. Mereka telah mendahului kamu sekalian! Mereka tidak mewariskan kemewahan bagimu pribadi masing-masing. Melainkan mereka mewariskan amanat penderitaan rakyatmu; amanat yang mengandung dua pesan, yakni: Pertama: Jagalah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Kedua  : Bangunkanlah masyarakat gotong royong, adil dan makmur, bebas dari penghisapan dan kemelaratan. Peganglah teguh dua amanat penderitaan ini. Peganglah teguh, Laksana Obor yang diserahkan padamu untuk kamu nyalakan terus menyinari jalan perjuangannya Bangsa dan Negara.” (kutipan pidato pertama Bung Karno di depan Istana Negara sekembalinya dari Yogyakarta, 1949) Semenjak orde baru dilengserkan oleh orde reformasi (perubahan), keadaan negeri ini tidak mengalami perubahan dan perbaikan dalam hal penyelamatan sumber daya alamnya. Malah sepertinya para pemegang mandat rakyat yang katanya reformis malah kongkalikong me

Ondel-Ondel (Riwayatmu Kini)

Gambar
Keterbukaan dan pesatnya arus globalisasi membuat kota megapolitan sebagai berandanya negeri ini tak kuasa menahan derasnya budaya asing yang masuk silih berganti. Disadari atau tidak, hal ini berdampak pada kearifan lokal yang lambat laun mulai terpinggirkan. Hal ini bisa dirasakan dengan perubahan prilaku pada generasi saat ini, yang mulai ‘demam’ dengan budaya asing dan mempraktekannya dalam pergaulannya. Hal lain juga dapat dilihat dengan mudahnya mengakses kuliner-kuliner asing di lokasi strategis dan seringnya seni budaya asing tampil di gedung-gedung pertunjukan/tempat-tempat strategis lainnya. Ini berbanding terbalik dengan budaya lokalnya, yang hanya diberi ruang 1 tahun sekali. Budaya Betawi ‘[di]sembunyi[kan]?’ di panggungnya sendiri. Salah satunya, ondel-ondel pun mencari dunianya sendiri agar bisa tetap eksis ditengah-tengah hegemoni budaya asing. Pinggiran kota dan perkampungan menjadi tempat yang ideal untuk ber ekspresi sekaligus mencari rezeki.  

Soul of Freedom

Gambar
http://www.saatchiart.com/art/Painting-Soul-Freedom/315137/218653/view Afriani Soul Freedom 150 x 190 cm Oil on Canvas 2012 Dunia ideal, bagi setiap orang, ada di pikirannya sendiri. Dunia yang dibangun berdasarkan persepsi pribadi. Kebanyakan bertentangan dengan dunia ideal menurut versi yang lain. Setiap orang mendambakan kehidupan yang ideal di dunianya. “Apa yang dilihat, didengar, dipikirkan dan dirasakan..terkadang bisa berbeda-beda eksekusinya..disitulah seninya..” Dalam dunia seni rupa, setiap seniman mempunyai persepsi ‘ideal’ masing-masing. Seperti manusia pada umumnya, seniman sudah pasti menghadapi realita kehidupan manusia dengan profesi lainnya, namun karena profesi seniman lebih kepada sebagai creator, sehingga sangat erat hubungannya dengan emosi, fikiran, perasaan atau jiwa seorang seniman. Hidup dengan berbagai persoalannya membuat seniman di sadari atau tidak terkadang dikendalikan oleh hal-hal dari luar dirinya, membuat seniman jadi terp

Pameran Tunggal Pertama Afriani "Vox Populi" di Grand Sahid Jaya Jakarta - 2010 (Artworks)

Gambar
 

Kuratorial "Vox Populi" (Katalog)

Agus Dermawan T. Afriani dan “Vox Populi” Pameran tunggal Afriani, pelukis otodidak kelahiran Selayo, Sumatera Barat 1974, diberi juluk “Vox Populi”. Kata ungkapan bahasa Latin itu artinya “suara rakyat jelata”, atau suara orang kebanyakan. Kata itu dipetik dari ungkapan yang populer ratusan tahun lalu di belahan dunia Barat, “vox populi vox Dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan. Judul ini tentu mengacu kepada karya-karya Afriani yang senantiasa menggambarkan kehidupan rakyat kecil. Dunia rakyat memang tampil begitu eksplisit, sehingga lukisannya hadir selayak foto-foto jurnalistik. Namun oleh karena Afriani mengolahnya lewat proses seleksi obyek dan perenungan atas adegan dan peristiwa, yang nampak di mata kita adalah sublimasi dari gambaran-gambaran jurnalistik. Dengan begitu lukisan-lukisannya tidak sekadar menyuguhkan kejadian, tapi juga menawarkan sejumlah pesan. Dari jajaran kanvas Afriani kita menangkap adanya 2 sifat presentasi. Yang pertama lukisan yang menggam

Catatan dari Seorang Pencinta Seni (Katalog)

    Kegelisahan seorang Ibu  “Ketika pelukis Afriani beserta keluarga pindah ke Jakarta dari Batam, dia tentu berharap dapat menikmati kehidupan yang lebih baik. Bukankah Jakarta merupakan ibu kota negara, kota yang penuh dengan gedung bertingkat dan kota yang menjanjikan kesempatan bagi orang-orang kreatif. Afriani kemudian berdiam bersama warga lain di pemukiman kumuh. Dia menyaksikan anak-anak yang harus bermain di rel kereta api, pedagang pinggir jalan yang berkali-kali terkena razia dan anak-anak yang harus mengerjakan pekerjaan sekolah di kamar sumpek. Air bersih sukar didapat. Ke toilet harus bergantian.Jakarta ternyata bukanlah kota yang ramah untuk keluarga Afriani. Untuk hidup di Jakarta perlu biaya dan biaya hidup yang layak ternyata tidak sedikit. Kehidupan mereka yang berjuang hidup di perumahan kumuh dan pedagang yang setiap hari berjualan di pinggir jalan dalam suasana tak tenang terekam dalam lukisan Afriani.Ketika setiap hari dia melihat bahkan ikut merasakan