Kuratorial "Vox Populi" (Katalog)



Agus Dermawan T.

Afriani dan “Vox Populi”

Pameran tunggal Afriani, pelukis otodidak kelahiran Selayo, Sumatera Barat 1974, diberi juluk “Vox Populi”. Kata ungkapan bahasa Latin itu artinya “suara rakyat jelata”, atau suara orang kebanyakan. Kata itu dipetik dari ungkapan yang populer ratusan tahun lalu di belahan dunia Barat, “vox populi vox Dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Judul ini tentu mengacu kepada karya-karya Afriani yang senantiasa menggambarkan kehidupan rakyat kecil. Dunia rakyat memang tampil begitu eksplisit, sehingga lukisannya hadir selayak foto-foto jurnalistik. Namun oleh karena Afriani mengolahnya lewat proses seleksi obyek dan perenungan atas adegan dan peristiwa, yang nampak di mata kita adalah sublimasi dari gambaran-gambaran jurnalistik. Dengan begitu lukisan-lukisannya tidak sekadar menyuguhkan kejadian, tapi juga menawarkan sejumlah pesan. Dari jajaran kanvas Afriani kita menangkap adanya 2 sifat presentasi. Yang pertama lukisan yang menggambarkan kejadian dengan sikap yang netral. Yang kedua lukisan yang mengungkap kejadian dengan upaya menyuratkan metafora.

Untuk kategori pertama bisa kita lihat lewat “The Forgotten”, “Kuli Malam”, “Calon Bintang”, “Sarimin in Action” dan “MasaNya”. Termasuk “Tak Ada Lagi Tempat Bermain”, lukisan yang dengan detil menggambarkan anak-anak gembira bermain di kawasan berbahaya. Dalam lukisan ini Afriani sanggup menghidupkan atmosfir kehidupan anak-anak tuna hiburan yang sedang asyik bermain di rel sebelah sini, sementara kereta api berjalan mendengus dan mengancam di sebelah sana.

 Dalam lukisan-lukisan kategori ini Afriani nampak tidak ingin berkata-kata jauh selain keinginan untuk mengungkap rasa empati. Karyanya tidak menyiratkan gugatan atas kenyataan, misalnya : betapa ternyata semakin banyak generasi baru bangsa Indonesia yang miskin dan tak berdaya. Afriani memposisikan lukisannya sebagai potret realitas.

Lukisan-lukisan kategori kedua terlihat pada “Dilema”, “Menyemir Asa”,  “Atas Nama”, “Apa Kabar,Bung!”, Souvenirs of War” , “Menatap Cahaya Terang" (Pasca Gempa Sumbar) serta “Pewaris Semangat”. Sebagai pelukis asal Sumatera Barat, bagaimanapun dirinya sering terlibat dalam alam pikiran yang biasanya terungkap dalam sastra. Pantun yang banyak kiasan, prosa yang menyampaikan berbagai metafora.

Lukisan “Dilema” menggambarkan para pedagang kecil berjualan di bantaran kereta api, adalah sebuah rekaman yang menyiratkan pesan kepada Pemerintah, bahwa rakyat kecil perlu lahan untuk berusaha. Apabila pihak yang berkewajiban mengelola hajat hidup masyarakat berdiam saja, maka rakyat kecil seperti pedagang itu selalu dihadapkan kepada kenyataan gila : berdagang di rel sungguh berbahaya, tapi bila tak berdagang, mau makan apa?

“Apa Kabar,Bung!” menghadirkan gambar pemulung kardus yang melewati patung Bung Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia yang mencanangkan pemikiran kesejahteraan bangsa. Tapi pemikiran itu tak teralisasi jadi kenyataan, sehingga cuma jadi warisan kata-kata belaka. “Souvenirs of War” adalah gugatan yang atas perang dan terorisme yang meluluhlantakkan apa saja. Di sini Afriani dengan elok menggambarkan monumen asap dan debu, lambang kehancuran kehidupan. Lalu dengan sudut pandang yang indah ia melukiskan situasi pasca gempa di Sumatera Barat tahun 2009 lalu dalam “Menatap Cahaya Terang" (Gempa Sumatera Barat). Di situ nampak seorang ibu dan anaknya sedang menatap reruntuhan bangunan di bumi yang koyak. Ibu dan anak itu optimis untuk terus mengalahkan derita.

"Menyemir Asa” merekam kontrasitas dua kehidupan. Di belakang seorang bocah yang menyemir sepatu untuk sesuap nasi, nampak dua anak orang berada sedang memandangi etalasi toko yang mendisplay barang mewah. Semantara “Pewaris Semangat” memperlihatkan seorang pengamen cilik yang biasa menyanyikan lagu tentang hidup yang kalah tetapi tetap semangat dalam menggapai impian, sedang mengagumi patung Ki Hajar Dewantara, bapak Pendidikan Nasional.
     
Namun sesakit-sakitnya nasib, perasaan syukur atas kehidupan yang diberikan oleh Tuhan selalu terucap di hati terdalam rakyat jelata. Afriani melukiskan perasaan itu lewat lukisan seorang penjual pisang yang sedang menghitung penghasilannya yang sejengkalan tangan. Atas uangnya yang tipis penjual pisang itu berguman dengan hati tenteram “yah..lumayanlah” , bagai tertulis sebagai judul lukisan.

Merubah paradigma.

Afriani melukis dunia rakyat adalah untuk melaporkan keadaan rakyat kepada masyarakat luas, dan sekaligus untuk menyuarakan hati rakyat kepada siapa pun yang menatap lukisannya. Dengan bahasa realismenya ia ingin lukisannya juga dinikmati oleh rakyat. Namun Afriani menyadari, bahwa upayanya melukis dunia rakyat, dan untuk dinikmati oleh rakyat, hanya merupakan satu noktah belaka dari sejarah panjang seniman yang mencoba merubah paradigma tujuan penciptaan seni. Dari situ kita lantas gampang diingatkan, betapa pada sebentangan masa silam seni lukis (dan seni rupa pada umumnya) sangat acap diciptakan bukan untuk rakyat jelata, atau bukan untuk orang-orang biasa. Dari situ memori kita diajak berjalan menjumpai sederet perupa pengisi sejarah.

Atas Michelangelo yang menggubah mural di plafon kapel Sistine, Roma misalnya. Pelukis dan pematung ini berkarya untuk kepentingan Paus dan gereja. Atau Raden Saleh yang melukis potret dan pemandangan untuk para bangsawan di Jawa, Belanda dan Jerman. Atau pelukis legendaris Jan Vermeer, Rembrandt sampai Frans Hals yang melayani pesanan orang-orang kaya di Eropa.

Prinsip penciptaan yang mengiblatkan seni kepada “yang tertinggi” itu mulai ditolak keharusannya di Eropa pada abad 18. Dr.Astri Wright, dalam kitab Modern Indonesian Art, Three Generation of Tradition and Change 1945 – 1990 (Joseph Fischer, ed), pada artikel Painting the People mencatat, gejala keluarnya para pelukis Eropa dari kecenderungan di atas diinspirasi oleh Revolusi Prancis. Juga oleh karya-karya Hogarth, pelukis dan penggambar radikal Inggris. Sejak itu para pelukis dan pematung mulai mencoba menggambarkan kehidupan rakyat biasa.

Dan umumnya rakyat tersebut dilukiskan dalam setting yang menghasilkan cerita. Semua ini lantas bisa dihubungkan dengan Revolusi Industri, di mana rakyat kebanyakan seperti pengusaha kecil, administratur sampai buruh hadir di masyarakat sebagai kelompok dominan. Di Indonesia Astri Wright melihat fenomena semacam itu secara jelas lewat karya Sudjana Kerton, Hendra Gunawan dan Djoko Pekik. Dan selanjutnya dia harus mencatat nama Afriani.

Masih dalam halimun sejarah seni rupa Barat, pada masa kemudian pelukis yang biasa bekerja untuk para bangsawan dan sehari-harinya bermain di istana pemerintahan mulai berani melukiskan “realitas lain” di balik gemerlap dan tertibnya istana, seperti yang dicontohkan oleh Francisco de Goya. Keberanian menghadirkan realitas ini diteruskan pelukis-pelukis zaman setelahnya, seperti Eugene Delacroix, Ingres, Gericault dan sebagainya. Di sini siapa pun sah untuk melukis apa saja dan siapa saja di kanvas-kanvasnya.

Di Indonesia seni rupa yang berangkat dari konsep “melukis rakyat biasa” itu secara proklamatif bergema ketika Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) muncul pada 1938. Dalam anjurannya, Sudjojono, juru bicara perkumpulan itu, mengajak setiap pelukis mencipta dengan alam pikirannya sendiri sebagai rakyat, dengan dunia hatinya sendiri sebagai rakyat, dan mengenai lingkungan hidupnya sendiri, lingkungan hidup rakyat. Sudjojono menganggap bahwa, dengan merengkuh ide yang berangkat dari dunia sendiri itu akan muncul seni lukis yang jujur, berkepribadian, dan Indonesiawi. Dan karya-karya rakyat yang kerakyatan ini dianggapnya akan lebih bermanfaat bagi kebangkitan sebuah negeri, yang dihuni oleh orang-orang biasa. Karena seniman yang mewakili hati-pikir rakyat adalah spes patriae, penabur harapan di tanah air. Semangat Sudjojono ini jelas diteruskan oleh Afriani.

Vox populi, vox dei.                            

Dalam perkembangan pemahaman berkonteks seni lukis, istilah ”rakyat biasa” akhirnya terelaborasi sebagai “obyek-obyek biasa dari orang-orang atau jelata”. Pilihan ini barangkali terkait dengan penafsiran bahwa sesungguhnya, di mana-mana, rakyat adalah (justru) penguasa. Dan rakyat adalah kebenaran yang berkuasa, sehingga muncul ungkapan “vox populi vox Dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan. Atau seperti yang dikatakan orator dan negarawan Inggris Edmund Burke (1729-1797),  “The People are the masters”, rakyat adalah raja. Lantas pelukis pun, termasuk Afriani, melukis rakyat, memandang dengan serius segala yang ada di tengah rakyat, dan memanifestasikan segala hal yang dilakukan rakyat. Karena rakyat adalah yang utama.

Perluasan pemahaman atas arti rakyat akhirnya menjadikan seniman seperti Afriani terus melacak posisinya sendiri, yang sesungguhnya ternyata tidak lebih rendah dari raja, presiden, penguasa, menteri, hartawan dan sebagainya. Oleh karena itu, pelukis-rakyat yang melukis tentang rakyat seperti dirinya bukanlah harus mengabdi kepada negara. Sebaliknya negaralah yang harus mengayomi mahluk yang bernama pelukis, yang tak lain adalah rakyat. Bicara dalam lingkup politis, bukankah Aristoteles jauh hari telah menjelaskan, bahwa tujuan dibentuknya sebuah negara misalnya, justru untuk menyejahterakan rakyat. Dan samasekali bukan untuk yang lain? Pelukis Afriani sangat mengerti logika ini.

Dari pemahaman ini akhirnya terbaca bahwa seni yang sifatnya kerakyatan tentulah tidak dimonopoli oleh seni yang dalam manifestasinya semata-mata menjelas-jelaskan situasi kehidupan rakyat, bagai yang ditunjukkan oleh “realisme sosial” di Tiongkok era Mao Tse Tung, di Uni Soviet sebelum reformasi, atau di era Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) tahun 1960-an dulu. Karena dalam setiap lukisan yang dihasilkan oleh elemen rakyat yang berpikiran sebagai rakyat, senantiasa terkandung nilai-nilai kerakyatan. Sekalipun yang dilukiskan tidak lagi semata menggambarkan kepengapan hidup rakyat jelata.

Keapikan lukisan-lukisan Afriani, salah satu bintang Jakarta Art Awards 2008 (menurut kritikus Bambang Bujono di majalah TEMPO), menjelaskan dan membenarkan pendapat itu. Rekamannya atas kehidupan rakyat, dan pilihannya atas sisi-sisi hidup rakyat, tidak diiringi hasrat untuk berteriak : “Ini lho kondisi rakyat Indonesia”. Ia melukiskan segalanya lantaran sebuah empati yang dalam, dengan hati dan pikiran yang tenang.

Karena itu, untuk menutup artikel ini baik apabila ditawarkan sederet pantun klasik yang biasa dibacakan di kampung halaman Afriani. Sepetik karya sastra lisan dan tulisan yang patut direnungkan oleh para pengelola negeri :

Bila orang lupakan diri,
banyaklah bala yang menghampiri

Bila orang lupa pakaian
banyaklah kerja yang bersalahan.

Kalau sudah lupakan diri.
alamat bala menimpa negeri

Kalau sudah lupa pakaian,
di sinilah tempat masuknya setan

Lupa diri binasa negeri
lupa pakaian binasa iman.
                   
Agus Dermawan T.
Kritikus, penulis buku-buku seni rupa.                      




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Metamorfosa

20 April 2013 : Pameran Tunggal ke-2 "Prahara Sunyi" - Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta - Kurator : Rizki A. Zaelani