20 April 2013 : Pameran Tunggal ke-2 "Prahara Sunyi" - Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta - Kurator : Rizki A. Zaelani



 




prahara sunyi

Catatan dari lukisan-lukisan Afriani

Seseorang akan dengan mudah memahami jika lukisan-lukisan Afriani menunjukkan sebuah ‘potret kehidupan sosial’, khususnya menggambarkan situasi atau peristiwa mengenai orang-orang yang tinggal di Jakarta. Apa yang dikandung dalam gambaran potret semacam ini ? Apa artinya gambar sekumpulan wanita (ibu-ibu) dan anak perempuan yang nampak tengah berkumpulan dengan sikap tubuh biasa dan bersahaja? Apa artinya gambaran seorang anak jalanan dengan alat musik yang masih dibawanya termenung dihadapan patung pahlawan pendidikan Ki Hadjar Dewantoro? Apa artinya seorang pekerja (pemulung) yang bersusah payah menarik gerobak barang-barang bekasnya di hadapan patung pahlawan Muhamad Hatta, sosok pemikir, tokoh penggerak ekonomi bangsa? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah sebagian contoh yanng muncul saat kita memandang karya lukisan-lukisan Afriani. Jawaban bagi pertanyaan itu bisa beraneka ragam, setiap orang bisa memiliki versi-nya sendiri. Lalu, apa makna cara menunjukkan gambaran secara realitik (atau sering disebut realisme) yang dikerjakan Afriani di situ? Bukankah semuanya nampak ‘jelas’ dan bisa dikenal? Pada kenyataannya, gambaran yang realistik itu sekan mencari jawaban dalam setiap pengetahuan, kenangan, atau pengalaman yang dimiliki masing-masing orang. Tak ada yang arti bersifat ‘obyektif’ pada lukisan-lukisan itu.

Karya-karya yang sering hanya disebut sebagai lukisan realis (realisme) itu sebenarnya menunjukkan apa yang dijelaskan peneliti Ernst H.J Gombrich sebagai representasi (representation). Menurutnya, sebuah “representasi menjadikan gambaran yang mirip dari obyek dan lingkungan [yang ditunjukkan atau digambarkannya itu] tidak dengan menjadikannya sebagai tiruan, atau cermin dari imej yang diserupainya, melainkan membuatnya terligat bermaka sebagai model-model yang bersifat relasional. Seorang seniman memgambar dari kilasan cahaya matahari yang membentuk gradasi bayangan sebuah bentuk dengan cara menjadikan suatu bentuk gambaran cahaya dan bayangan bentuk di dalam suatu kesesuaian hasil. Bentuk akhir yang berupa gambaran yang bersifat ilusif ini menghasilkan tingkat kejelasan bentuk yang jadi kekuatan imej bentuk (gambar) yang bersifat persuasif”(1. Dalam hal ini, seorang pelukis realis, sebagaimana juga dilakukan oleh Afriani, bekerja bukan hanya meniru dan menyesuaikan bentuk dalam pengertian menjiplak; tetapi mengatur kadar cahaya dan ruang gelap yang pada akhirnya menghasilan bentuk gambaran tiga dimensional yang bersifat ilusif di atas bidang kanvasnya. Sebuah lukisan yang nampak realistik itu sebenarnya mengandung cara-cara yang khusus yang dikuasi oleh seorang pelukis untuk menghasilkan kesan penampakkan bentuk yang khas, melalui permainan bidang dan intensitas cahaya. Saat kini, tak lagi banyak pelukis yang membuat karyanya dengan cara melihat obyek (subyek matter karyanya) secara langsung , melainkan melalui ‘catatan’ imej dari sebuah foto.

Pun lukisan-lukisan Afriani dibentuk dari berbagai sumber catatan fotografik (yang tak hanya berupa bentuk foto, tetapi juga gambar-gambar yang dipeoleh dari berbagai sumber, spt: majalah, koran, dll). Ketika catatan imej yang sudah lengkap itu (dengan kadar gelap-terang sudah dihasilkan oleh kamera foto) dilihat oleh Afriani, maka intensitas cahaya semacam apa yang kemudian dipertimbangkannya kemudian? Di sini, saya ingin mengatakan sejenis ‘cahaya’ yang bukan datang atau ada pada obyek gambar yang terlihat (sebagai imej foto), melaikan cahaya yang terbit dari dalam, dari kesadaran diri dan gemuruh penilaian batin. Afriani menghubungkan berbagai imej di dalam bidang kanvasnya  menjadi suatu ‘realitas’ penampakkan yang ‘baru’, yang mungkin tak mudah atau tak bisa kita temukan langsung dalam kehidupan keseharian. Kemudian kita yang melihat lukisan itu seakan menyaksikan realitas yang seolah-olah realistik.

Gambaran realitas yang kemudian disebut sebagai ‘potret sosial’ itu nampak jelas tengah menyarankan kita pada suatu cara penilaian tertentu. Tak ada yang alamiah dari kelompok ibu-ibu dan anak perempuan yang berkumpul di sudut ruang sebuah lingkungan hunian kota yang padat, tak ada yang ‘biasa’ dari perjuangan seorang pemulih dihadapan patung monumen yang melambangkan suatu nilai tertentu, tak ada yang ‘wajar’ bagi seorang anak jalanan yang menatap patung monumen tokoh pendidikan nasional itu. Semua gambaran yang dikerjakan Afriani menyiratkan suatu makna bagi pemahaman kita semua.  Lukisan-lukisan yang dikerjakan Afriani seolah-olah menyiapkan semacam rute penjelajahan kesadaran mengenai lingkungan dan kehadiran ‘Diri’ di antaranya. Di situ, ia berusaha menunjukkan sejenis peta kesadaran menurut versi Afriani yang dijadikan sebagai tawaran bagi cara apresiasi kita tentang nilai-nila tertentu. Estetikus Anthony Savile menjelaskan pengalaman berharga yang bisa diperoleh seseorang (pengamat atau penikmat) dari sebuah ekspresi karya seni. Savile menjelaskan peran dari seni dalam menolong kita untuk mencegah pengapuran atau pelapukkan sikap pemahaman kita tentang dunia kehidupan, serta cara kita merasakan dan menunjukkan simpati kita kepada pihak sesama. Katanya: “seni menolong kita untuk merasakan keadaan kita di dalam situasi orang lain secara subtil”(2. Apa artinya kita memahamai ‘keadaan kita dalam situasi orang lain’ ?

Bagi saya, Afriani secara khas mengajak kita bersimpati pada pihak lain terutama demi terbemtuknya cara pemahaman bagi kita sendiri. Tak ada tanda-tanda mengenai rujukan bagaimana sebuah masalah sosial mesti diselesaikan, tak ada muatan kritik sosial yang tengah diumuman Afriani, kecuali penyampaian suatu cara yang subtil dan menghasut simpati kita. Lukisan-lukisan Afriani seakan tengah menunjukkan kecamuk sikap, pandangan, dan emosi dirinya tentang berbagai keadaan sosial yang diamatinya secara mendalam, namun disampaikan melalui pernyataan eksresi yang dramatik, subtil, namun tidak menggurui.  Saya menyebut pelampiasan emosi dan penilaian kritis Afriani ini dalam istilah ‘prahara’. Jenis ‘prahara’ yang saya maksud memang mengandung pengertian yang tidak biasa, karena hendak menunjukkan cara penyampaian emosi yang kuat dan mendalam namun disampaikannya dengan cara unik yang menerbitkan kesan mendalam.


Ubud, April 2013

Rizki A. Zaelani

 

ENDNOTES:

1.       Ernst H.J Gombrich, Art and Illusion: A Study in the psychology of Pictorial Representation (1960); (Oxford: Phaidon, 1980), hlm.27

2.       Anthony Savile, The Test of Time (Oxford: Clarendon Press, 1982), hlm.96-7



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Metamorfosa