Kuratorial oleh Kuss Indarto
Antara Pemenang dan Pecundang
Oleh Kuss Indarto
MENYIMAK karya-karya lukis Afriani dalam
tiga kali pameran tunggalnya seperti menatap irisan kecil panorama Indonesia
yang penuh keburaman—meski ada cercah harapan. Menonton bentang-bentang kanvas
Afriani dalam sewindu terakhir seperti merunuti pergeseran visual juga
perkembangan substansi karya yang cukup tertata dan lumayan terkonsep. Dari
pameran tunggal pertamanya tahun 2010 yang bertajuk “Vox Populi” lalu berlanjut pada “Prahara Sunyi” (tahun 2013), hingga “Be The Winner” yang dipresentasikan kali ini, apresian—setidaknya
saya—bisa melihat dan merasakan gerak evolutif dari perjalanan kreatif seorang
perupa yang berhasrat kuat membuat titik-titik pencapaian dari waktu ke waktu. Perkembangan
dan gerak yang evolutif tampaknya menjadi modus dan pilihannya. Bukan bergerak
secara revolutif/revolusioner atau terlalu kontras dan bergegas sehingga sangat
mungkin melenyapkan jejak langkah kreatif yang ditorehkan sebelumnya. Karya
yang dikerjakannya untuk pameran kali ini masih menemukan titik sambung dengan
hasil kreasinya sekitar 5-8 tahun lalu.
Pada
pameran tunggal “Vox Populi” Afriani
banyak menampilkan citra visual tentang kontras-kontras sosial yang terjadi
dalam masyarakat. Kontras-kontras itu disodorkan dalam kanvas seperti sebuah opini
personal atas kondisi masyarakat yang ditemui di sekitarnya. Di sini, perupa
ini seperti menempatkan dirinya dalam potret penuh kekontrasan tersebut karena,
bisa jadi, dia juga bagian dari masyarakat yang tiap hari hidup dalam tempaan kerasnya
megapolitan Jakarta yang penuh dengan kekontrasan sosial. Sang seniman ini
menampilkan dirinya sebagai homo
astheticus (makhluk seni) sekaligus sebagai homo socius (makhlus sosial). Pada titik ini, maka kefasihan untuk
menampilkan kontradiksi atau kontras sosial terasa pada karya-karya Afriani.
Ada, misalnya, lukisan yang menggambarkan sesosok anak kecil yang terempas
menjadi anak jalanan dan mengamen untuk menghidupi dirinya (pada lukisan “Pewaris Semangat”, 2009). Sosok
tersebut menghadap patung Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan yang juga
menjadi Menteri Pendidikan dan Pengajaran pada awal-awal kemerdekaan RI. Saya
kira sang seniman sengaja “membenturkan” gambaran yang kontras tersebut
sekaligus beropini bahwa dunia pendidikan di Indoneia masih saja menghadapi
problem yang paling elementer, yakni kemiskinan yang mengempaskan anak-anak
dari keluarga tak mampu yang tak terserap ke dunia pendidikan karena problem
ekonomi.
Ada
pula lukisan “Kuli Malam” (2010) yang
menggambarkan betapa kerasnya para pejuang keluarga itu bergelut mencari sesuap
makanan dengan mengorbankan waktunya berpisah dengan anak-istri ketika malam
tiba. Di latar belakang mereka, ada konstruksi jalan tol yang tengah mereka
kerjakan demi mobil-mobil gilap yang butuh medan perlintasan menembus kemacetan
Jakarta. Para buruh itu mungkin tak akan menikmati hasil pekerjaannya tersebut,
namun keringatnya ikut memuluskan jalan yang dilewati para pemilik mobil mewah.
Tema pameran kali itu, “Vox Populi”,
sengaja tidak dilengkapi seperti ungkapan asli bahasa Latin “vox populi vox dei” (suara rakyat,
suara Tuhan). Dari penjudulan itu terlihat bahwa Afriani tidak sedang
bergegabah bahwa rakyat bukanlah kumpulan sosok suci yang “disetarakan” dengan
Tuhan. Rakyat ya rakyat dengan segala kemanusiawiannya, namun dalam konteks
tertentu bisa menginspirasi sesamanya dengan nilai-nilai tentang
ketuhanan—lewat aksi kepedulian antar-mereka, solidaritasnya, dan lain-lain.
Berikutnya,
pada pameran “Prahara Sunyi”, citra visual
tentang kontradiksi dalam sosial kemasyarakatan makin dikuatkan pada
karya-karya Afriani. Lebih dari itu, anak-anak sebagai subyek utama atas tema sosial
itu seperti secara sadar menjadi bagian penting dalam karya-karya tersebut. Ada
kisah tentang anak-anak yang harus mencari uang dengan menjual jasa ojek payung
dalam lukisan “Behind the Rain”
(2011), anak-anak yang tidak terjagai oleh orang tuanya di rumah sehingga lebih
banyak bergaul dengan televisi (“Terbuai”,
2010), atau narasi tentang anak-anak yang kehilangan waktu untuk belajar karena
mesti menjadi nomaden mengikuti orang
tuanya yang tuna wisma dan terus-menerus tergusur oleh angkuhnya gurita
pembangunan megapolitan Jakarta (“Nomaden”,
2011).
Seperti
yang saya katakan di bagian awal, ada pergeseran yang gradual dan evolutif pada
pilihan tema perbincangan dalam karya Afriani. Dugaan saya, sebagai kreator perupa
ini melakukannya secara sadar sebagai bagian dari kerangka estetika yang coba
dibangunnya secara bertahap. Apalagi ketika karya-karya tersebut dikumpulkan
dan dipresentasikannya dalam sebuah perhelatan, maka kesadaran untuk memuat
benang merah dan titip sambung antarkarya—baik secara visual maupun
substansial—tampak menjadi perhatian utamanya.
***
LALU, kali ini pameran tunggal ketiganya,
“Be the Winner”, dihelat setelah
melalui proses yang tidak singkat dan sederhana. Hal khusus apa yang ditawarkan
dalam pameran? Adakah perubahan atau pergeseran yang signifikan di dalamnya?
Apa tema besar yang igin dikomunikasikannya?
Saya
mencoba sedikit menguliti garis pemikiran tentang tema “Be the Winner” ini dari catatan yang dituliskan sendiri oleh
Afriani. Katanya: “…Dalam usaha manusia
untuk menjadi lebih baik ini saya menyebutnya sebagai sebuah “pertarungan”.
Pergulatan manusia akan terus berlangsung seolah seperti tak pernah akan
selesai, hingga batas waktu yang diberikan Sang Khalik, baik itu pergulatan
(pertarungan) lahir maupun batin untuk menyempurnakan takdir kehidupannya
menjadi pemenang…”
Pernyataan
tersebut seperti mengisyaratkan sebuah kehendak yang kuat untuk menjadikan jagat
seni rupa sebagai pilihan profesinya ini sekaligus sebagai medan “pertarungan”
dalam bersiasat dengan hidup. Situasi psikologis ini dikuatkan oleh fakta-fakta
obyektif yang saya duga menuntutnya lebih serius masuk dalam medan pertarungan.
Pertama, Afriani bukanlah seniman
yang berasal dari jalur akademis, namun merangkak dari dunia otodidak, dan datang
dari kawasan Selayo, Sumatera Barat, lalu besar di Batam, yang tidak dikenal
sebagai kawasan penting seni rupa di tanah air. Fakta ini memberi dorongan dari
dalam diri Afriani untuk bergerak dengan lebih terukur dan sistematis untuk mengejar
banyak ketertinggalan—baik dari segi teknis maupun penalaran. Seperti kita
pahami bersama, dewasa ini dunia seni rupa Indonesia (seperti halnya kawasan lain
di dunia) banyak didominasi dan didinamisasi oleh para perupa dari jalur
akademik. Maka, kesadaran perupa perempuan ini untuk melakukan “pertarungan”
demi upaya menyejajarkan diri dengan seniman akademik bukanlah perkara mudah,
namun jelas bukan tidak mungkin.
Kedua, dugaan bahwa fighting spirit untuk bertarung ini mengemuka dari faktor
“historis-genealogis” dirinya sebagai urang
awak Minangkabau. Boleh saja ini dianggap mengada-ada, namun dalam catatan
sejarah ranah Minang adalah kawasan dengan kultur dan adat istiadat matriarkal
yang relatif masih terawat dimana posisi perempuan sangat berperan kuat dalam
perikehidupan sehari-hari, bahkan hingga secara politis. Bahkan dalam konteks
tertentu—seperti yang dicatat oleh Jeffrey Hadler dalam “Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme
di Minangkabau” (2010), bahwa perempuan (MInangkabau) lebih baik dalam hal
“menanamkan benih, menyusun mehatap
mehatoen, menyusun makanan di atas piring, karang mengarang bunga, menjahit
menakat, melukis, menulis,
menggambar, menerawang, merenda, menenun, menganyam dinding bambu, dan tikar
dan lainnya. Maka, “pertarungan” Afriani dalam konteks ini adalah upayanya
untuk merunuti semangat juangnya yang memang berkait secara genealogis. Kutipan
catatan itu menjadi pengingat bahwa perempuan Minangkabau diasumsikan sebagai
sosok yang siap bertarung dan penuh kemandirian.
Sementara
dalam tinjauan visual dan substansinya, saya melihat ada pergeseran yang cukup
kentara ketimbang dua pameran tunggal sebelumnya—yang sedikit banyak menyoal
perkara sosial lewat sosok anak-anak. Kali ini, Afriani tidak sedikit
menghadirkan diri sebagai subyek bagi karyanya untuk kemudian menerawang
membincangkan beragam perkara yang melingkupi diri. Pola dan modus seperti ini
memang bukanlah perkara baru. Dalam 15 tahun terakhir, di Indonesia, beberapa
perupa juga telah melakukan hal serupa. Sebut dan ingatlah karya-karya Agus
Suwage, Entang Wiharso, Jumaldi Alfi, Budi Kustarto, Edo Pilu, Asmudjo J.
Irianto dan sekian banyak nama lain. Kecenderungan itu juga mengglobal dan lama
karena telah dilakukan oleh para seniman besar di belahan dunia lain dan telah
terjadi dalam rentang waktu jauh sebelum ini. Mereka menempatkan sosok dirinya
dalam kanvas/karya sebagai representasi, jembatan persoalan atau titik
berangkat bagi persoalan besar di luar dirinya.
Siasat
kreatif semacam ini juga terjadi pada Afriani. Sebut misalnya pada karya-karya
bertajuk “Perjalanan”, “Metamorfosa”, “Takdir
Pemenang”, dan “Introspeksi”. Penghadiran
diri itu seperti menegaskan bahwa tubuh diri (Afriani) adalah juga tubuh
sosial. Wajah diri (Afriani) adalah wajah sosial. Potret diri adalah
representasi atas segala problem sosial kemasyarakatan yang bersinggungan
bahkan melekat satu sama lain. Potret diri juga seperti sebuah hasrat dari sang
seniman yang menjatuhkan dirinya dalam sebuah persoalan, sembari memungkinkan
diri untuk menawarkan cercah solusi.
Namun
ada titik beda menarik pada karya-karya Afriani, termasuk yang menghadirkan
dirinya dalam kanvas. Seniman kelahiran 5 April 1974 ini saya kira tidak begitu
“keras” membincangkan problem sosial kemasyarakatan, namun menyeretnya dalam
lingkup pembahasan yang bernuansa spiritual(itas) dan filosofis. Perkara
“pertarungan” dan “pergulatan” hidup itu seperti dirunutnya kembali secara
kronologis mulai dari proses muasalnya manusia, yakni sperma, lalu proses
embrio manusia, jabang bayi, hingga seterusnya ketika sosok-sosok manusia
menjalani proses alamiah menjadi besar, remaja, dewasa, dan seterusnya.
Kronologi ini bagaikan cermin dan medan pengingat bagi apresian yang disodorkan
oleh si seniman agar manusia kembali menyadari bahwa tiap tahap perjalanan
manusia itu adalah proses pertarungan dengan level-level yang selaras dengan
kurun usia berikut segala kesulitas dan kemudahannya, kestabilan dan
dinamikanya.
Proses
perjalanan manusia yang kronologis itu, bagi masyarakat dengan latar belakang
budaya Jawa, tentu akan mengingatkan pada deretan tembang macapat yang juga berbincang tentang tahap-tahap (waktu) hidup bagi
manusia tersebut. Macapat atau maca papat (membaca tiap empat suku
kata) adalah salah satu jenis puisi yang dikenal dalam tradisi sastra Jawa,
selain kakawin, kidung, wangsalan,
parikan, dan geguritan. Bentuk macapat mempunyai aturan yang sangat
memikat yang disebut dengan guru lagu, wilangan, dan guru gatra.
Kita
tahu kalau, misalnya, ketika masih dalam wujud sperma lalu berkembang menjadi
janin, maka tembang yang tepat untuk mengiringi kurun tersebut adalah tembang
macapat Maskumambang. Janin pun
tengah berjuang dalam perut untuk bisa bertahan hidup, dan dipertahankan untuk
bisa lahir dengan selamat. Penamaan “maskumambang”
kiranya sebuah penghormatan bahwa janin adalah emas (mas) yang kemambang
(terapung) di dalam kandungan sang ibu. Nada macapat pada tembang Maskumambang biasanya sudah distandarkan
sebagai “nelangsa kelara-lara”, penuh
kenelangsaan dan tangis karena masuk dalam masa keprihatinan.
Demikian
pula ketika kemudian masuk dalam tahap berikutnya, yakni sang janin lahir
sebagai bayi. Maka tembang macapat
yang tepat untuk mengiringi masa ini adalah tembang Mijil. Ritme dan isinya penuh dengan nuansa cinta kasih dan sayang.
Selanjutnya memakai Sinom ketika
masuk masa remaja, Kinanthi (saat
pencarian jati diri), Asmaradhana
(saat jatuh cinta), Gambuh (saat
berkomitmen untuk berumah tangga), Dhangdhanggula
(sukses bertumah tangga), Durma (masa
untuk berderma), Pangkur (mungkur, mengurangi hal duniawi), Megatruh (masa cerai dengan ruh,
kematian), dan Pucung (saat dipocong
menuju liang lahat).
Saya
lihat, Afriani dengan sadar memberi tahapan-tahapan yang kronologis tentang
pertarungan dan perjuangan manusia—bahkan mulai ketika bakal manusia masih berupa
sperma. Kita bersama-sama mengetahui bahwa untuk berproses menjadi embrio dan
janin pun, jutaan sperma yang berhambur ketika orgasme (setelah melewati proses
intercourse) harus bersaing dan
“bertarung” mendapatkan sel telur untuk dibuahi (simak karya bertajuk “Petarung Sejati”).
Demikian
pula tatkala ketika pertarungan itu berlangsung secara simbolik. Afriani mengemukakan
simbol visual kepompong hingga dibuat dalam beberapa bentang kanvas—di
antaranya menampilkan potret diri sang seniman. Pada hewan tertentu seperti
ulat, kita tahu, dalam siklus hidupnya mengalami proses metamorfosa fisik yang
berujung menjadi kupu-kupu yang wujudnya relatif paling indah ketimbang proses
sebelumnya. Proses menjadi kepompong itulah tahapan yang dianggap paling
krusial ketika dia harus mengering, tergantung, hingga lalu secara pelahan
terlepas dari cangkang kepompong dan menjelma menjadi kupu-kupu. Pada “tabung”
kepompong itulah proses kawah candradimuka berlangsung. Dalam tinjauan
spiritualitas, proses tersebut bisa dimaknai sebagai sebuah proses asketik,
yakni ketika sang ulat melepaskan problem fisikalitas sebelumnya, menyepi,
menyembunyikan diri dari dunia luar, masuk dalam kesunyian, mengurangi makan, bertapa,
hingga kemudian hadir dalam kerangka “eksistensi” yang berbeda: menjadi
kupu-kupu.
Ini
tidak bisa dibaca secara sederhana sebagai perubahan fisik belaka, namun ada
problem spiritualitas yang mendalam yang menyertai perubahan tersebut. Ada
banyak “pertarungan” yang menyertai di dalamnya. Saya kira ini juga menjadi
bagian dari kesadaran spiritual(itas) Afriani sehinga perlu membuat karya
dengan simbol visual kepompong hingga beberapa buah.
***
Deretan karya perupa perempuan ini terasa
melewati proses perwujudan karya yang lambat-laun mulai menyublim. Pemunculan
beragam dunia simbolnya pun terasa relatif halus (eufemistik). Bukan sekadar
menampilkan jagat simbol tersebut secara mentah, lugas, dan apa adanya. Ada
“pertarungan” dalam proses perwujudannya. Pergeseran seperti ini tentu tidak
mudah karena seorang seniman, bisa jadi, membutuhkan proses waktu yang relatif
lama, melewati perenungan yang tak sedikit, pembacaan tanda-tanda atas semua
gejala yang tumbuh di sekitar diri dan imajinasinya, dan lain-lain.
Afriani,
saya duga, berusaha keras untuk mengakrabi gejala-gejala sosial dan simbol-simbol
visual yang tumbuh di lingkungan dan batok kepalanya. Semua itu harus digali,
ditimba, disaring, untuk kemudian diserapnya sesuai ketepatan gagasan dasarnya.
Saya mengenal lebih dekat karyanya pertama kali ketika menguratori Pameran
Nusantara 2009 di Galeri Nasional Indonesia dengan tajuk kuratorial “Menilik Akar”. Dalam beberapa kali
perbincangan, saya mendapati bahwa sosok seniman perempuan ini berupaya keras
untuk mengingkari kemandegan kreatif dengan cara dan subyektivitasnya. Ketika
di berada Batam, atau di Ancol, atau di tempat lain yang telah sekian lama
disuntuki itu dianggapnya tak lagi menyuburkan kreativitas pada karyanya, maka
dia berusaha untuk mengambil “jarak”, mengoreksi, untuk memicu diri menjadi
lebih berkembang. Kesadaran dirinya sebagai seniman otodidak yang tak mudah
untuk mendapatkan posisi penting dalam peta seni rupa, menjadikannya harus
bertarung lebih keras lagi. Pameran tunggalnya kali ini, kiranya, menjadi titik
penting untuk melanjutkan perjalanan kreatifnya sebagai seorang petarung.
Apakah Afriani akan menjadi “Be the
Winner” atau justru sebaliknya sebagai “be
the looser”, menjadi pemenang atau pecundang, semuanya bergantung pada
seberapa besar spirit bertarungnya saat ini dan ke depan, serta seberapa dalam
dia mampu memaknai tiap jejak langkah pertarungan yang telah ditorehkannya.
Bertarung
terus-menerus akan memungkinkan dirinya menjadi The Winner. Hidup ini, kata Albert Einstein, seperti orang yang
mengendarai sepeda. Kita akan terjatuh kalau berhenti mengayuhnya. Dan semoga
Afriani tahu persis bagaimana dan kapan harus mengayuh roda seni dan kreativitasnya.
Selamat berpameran. ***
Kuss
Indarto, kurator seni rupa, dan editor in chief situs www.indonesiaartnews.or.id
Komentar
Posting Komentar