Kata Pengantar dari Bapak Syakieb Sungkar



Hidup Eksistensial Afriani
Oleh : Syakieb Sungkar


Saya selalu kagum dengan Afriani. Karena gaya melukisnya yang cermat. Saya mulai memperhatikannya semenjak dia menjadi finalis Jakarta Art Award 7 tahun yang lalu. Memang Lukisan realis adalah salah satu tema favorit saya. Namun kali ini Afriani mengejutkan, karena pemilihan temanya yang ekistensial. Yaitu soal kelahiran - tantangan hidup - survival dan keinginan untuk menang.

Entah kenapa saya menyukai Kierkegaard, filsuf kelahiran Denmark yang berpunuk (hunchback) dan kedua kakinya tidak sama panjang sehingga jalannya pincang. Kierkegaard mempunyai keyakinan umurnya tidak lebih dari 35 tahun mengingat semua keluarganya cuma bertahan hidup sampai maksimum 21 tahun saja karena sakit.

Ketidaksempurnaan lahiriah membuat Kierkegaard menjadi seorang yang sinis dan sensitif. Namun dibalik itu dia dianugerahi akal yang cerdas dan mulut yang tajam. Sehingga dia dapat memikirkan hubungan antara yang fana atau mewaktu (temporal) dengan yang abadi (eternal). Menurutnya manusia meskipun hidup dalam waktu, manusia juga memiliki gagasan mengenai keabadian. Gagasan ini membuat manusia ingin memahami peristiwa-peristiwa temporal dalam hidupnya. Kita tidak suka melihat kehidupan kita hanya kumpulan potongan-potongan peristiwa yang tidak mempunyai koherensi dan makna. Kita mendambakan sesuatu yang lebih besar, yang dapat mengatasi dan "memayungi" semua peristiwa yang kita alami dalam hidup kita (transcendence). Dalam kemewaktuannya, manusia mendambakan keabadian.

Itulah tragedi manusia, sebab waktu - perubahan lewat waktu untuk melakukan yang kita inginkan - adalah sisi pahit yang selalu ada dalam kehidupan manusia. Seandainya manusia hanya hewan belaka, tanpa keinginan dan dambaan akan keabadian atau transedensi, barangkali hidup kita akan jauh lebih mudah. Namun kita ingin survive, sehingga dalam situasi dan waktu apapun kita harus menang. Terhadap hidup dan terhadap waktu itu sendiri.

Perhatikan lukisan "Petarung Sejati", sekumpulan sperma berdesak-desakan untuk menguasai dunia. Kemudian sperma tersebut berkembang menjadi janin yang pada karya "Siapapun Berhak Jadi Pemenang" digambarkan sebagai calon manusia yang hidup dalam gelembung. Ada banyak gelembung yang melayang-layang memenuhi kanvas berlatar biru itu. Pada "Siap Bertarung", gambaran dunia yang tenang itu berubah menjadi putaran yang menyeramkan, mirip badai siklon yang siap memporak porandakan gelembung-gelembung janin itu.

Kemudian janin itu lahirlah ke dunia. Dan hukum besi dari kehidupan  adalah, manusia mempunyai keinginan dan impian, digambarkan pada "Berawal Dari Mimpi". Impian itulah yang menjadi trigger atau pendorong agar manusia bisa maju dan juara. Namun sisi buruk dari ambisi adalah kita harus bekerja keras dan siap gagal. Kierkegaard mengatakan bahwa kehidupan itu adalah dialektika antara kegagalan dan usaha. Agar manusia menjadi paham bahwa kehidupan itu tidak mudah dan kita harus memperbaiki diri agar hidup menjadi lebih baik.

Demikianlah, pada karya-karya berikutnya saya melihat simbol-simbol kehidupan yang berubah. Dicerminkan dalam metafor kepompong, ulat dan kupu-kupu. Kita melihat ada Afriani yang masih dalam kepompong ("Metamorfosa"), ulat yang tergeletak pada daun rapuh berpetakan Indonesia ("Padamu Aku Berjanji"), kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya setelah bermetamorfosis dari ulat ("Indah Pada Saatnya"), manusia yang keluar dari kepompong ("Saatnya Bangkit"). Dan rupanya ada ketegangan antara Afriani yang dulu dengan yang sekarang, diasosiasikan dengan keluar dari kepompong ("Kepompong Emas") dan layar masa lalu perlu dijebol ("Mendobrak Tradisi"). Mungkin kungkungan itu demikian kuatnya sehingga digambarkan sebagai penjara ("Kepompong Besi").

Tarikan antara tradisi dan keinginan untuk maju digambarkan sekali lagi dalam "Antara Kesetiaan Dan Kebebasan". Simbol-simbol yang digambarkan terlihat jelas. Ada kepompong sebagai amsal kungkungan, ada bulan purnama yang indah di luar sana, sebagai lambang cita-cita. Ada burung hantu yang merindukan bulan. Namun ada sosok hitam yang menyeramkan yang mengingatkan bahwa di luar sana hidup tidak mudah juga.

Setelah lepas dari kepompong, sesosok manusia menantang kehidupan dengan gagah, berdiri di atas kapal layar ("Mengejar Tantangan"). Afriani yang berjalan menantang dunia ("Takdir Pemenang"). Dan dalam hidup kita harus jungkir balik dan bersaing ("Pergulatan") dalam kehidupan yang keras ("Pelintas Batas").

Saya ingin menutup rekaan intepretasi saya atas karya-karya Afriani dengan dua lukisan terakhir, yaitu "Introspeksi", Afriani berdiri membelakangi dan dihadapannya adalah wajah-wajah yang sepertinya tersapu air terjun berwarna hijau. Representasi siapakah wajah-wajah itu? Orang tua, sanak saudara, tetangga atau teman-teman? Dan pada akhirnya Afriani mendengar juga nasihat dari para senior dan orang sekelilingnya, setelah susah payah menjebol pintu kungkungan yang digambarkan sebagai kepompong emas dan kepompong besi itu.

Lukisan yang lain adalah "Matematis" digambarkan jam dinding tergantung pada tembok yang berisi coretan rumus. Mengapa ada jam disana? Apakah itu menggambarkan kesadaran Afriani atas waktu yang ingin dikalahkannya melalui rumus kehidupan? Ataukah itu menggambarkan kesadaran akan kehidupan kita yang mewaktu, bahwa untuk menjadi pemenang ("Be The Winner") kita harus memperhatikan keterbatasan kita atas waktu, jangan sampai hidup eksistensial kita dikalahkannya dengan sia-sia.

Barangkali apa yang saya ungkapan diatas tidak sesuai dengan maksud pelukisnya, namun menurut ilmu Hermeneutika modern, begitu karya sudah ditandatangani dan selesai, maka menjadi hak khalayak untuk mengartikannya. Pelukis sudah mati (meminjam istilah sastra, Wolfgang Iser) begitu karyanya dipublikasikan. Sekarang tibalah pemirsa memberikan terjemahan dan apresiasi.

Dalam kumpulan lukisan Afriani kali ini, kita tidak melihat lagi romantisme pemandangan dan kehidupan sosial seperti pada lukisan-lukisan sebelumnya. Afriani sudah berkembang, lebih konseptual dan filosofis. Namun sebagai konsekuensinya pemirsa diajak merenung tentang pesan-pesan yang ingin disampaikan. Semoga ini akan menjadikan arus baru dalam kehidupan berkesenian Afriani yang selanjutnya. Selalu mencari dan menggali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Metamorfosa

20 April 2013 : Pameran Tunggal ke-2 "Prahara Sunyi" - Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta - Kurator : Rizki A. Zaelani