Catatan oleh Romo Mudji Sutrisno SJ.
METAMORFOSA SANG
PEMENANG
Oleh. Mudji Sutrisno SJ.
(Budayawan)
I. Seorang anak laki-laki seumur SD
tanpa baju sedang duduk mengamati ujung jari kakinya yang berdarah. Apakah luka
tersandung atau tertimpa sesuatu, namun tetap wajah si anak dan sapuan warna-warna
realis mampu memunculkan suasana luka dan keadaan melarat pada lukisan Afriani
yang diberikan ke saya saat pameran lukisan-lukisannya beberapa tahun yang
lalu. Afriani membawa sendiri lukisan itu dengan sepeda motor ke kami. Saya
terpana karena cara berterima kasihnya amat mendalam, bersahaja hingga lukisan
itu terpajang di pintu masuk kamar menyalamiku untuk selalu ingat sisi
kehidupan miskin dan derita di kebanyakan saudara-saudari kita.
Afriani sebagai pelukis perempuan
memang lekat dengan kepekaan merasakan kehidupan seiris dilapis
perjuangan-perjuangan mereka yang meskipun luka dan miskin namun pantang
menyerah untuk terus bertahan dan menanggungnya.
Potret keluarga manusia-manusia
gerobak yang semakin banyak kita jumpai di Jakarta karena jurang menganga kaya
dan miskin menjadi salah satu lukisan di pamerannya di TIM waktu itu. Dan
wajah-wajah penderita namun tetap berani hidup, muncul menyentuh ketika Afriani
pameran dalam bingkai pelukis perempuan hari Kartini di Museum Nasional Jakarta
4 atau 3 tahun yang lalu. Pernah dalam kisahnya, ketika melukis langsung di
kampung-kampung miskin penghuni rel-rel kereta api, sekelompok anak-anak muda
dari nyanyi-nyanyi riang ketika beriringan jalan tiba-tiba berhenti diam
terpaku memperhatikan Afriani yang sedang melukis wajah-wajah penghuni bantaran
rel-rel kereta api yang kuat menggugat dalam wajah-wajah melarat seakan
bertanya pada yang sedang bernyanyi-nyanyi itu: kalian memandang kami
saudara-saudaramu kah? Apa yang kalian buat untuk peduli nasib kami? Itu semua
menjadi warna dasar realisme sisi kehidupan dari mereka-mereka yang meskipun
luka dan melarat tetapi pantang menyerah pada kehidupan ini.
II. Mengapa Afriani mempu melukis
kenyataan kehidupan dari mereka-mereka ini hingga mampu menyentuh hati, membuat
yang melihat lukisan-lukisannya dibangunkan dari rutinitas acuh tak acuh pada
luka hidup untuk merenungi siapa-siapa mereka yang berani hidup dalam
keterbatasan? Ada dua oasisnya. Pertama, karena ia langsung melukis ‘realis’ di
lapangan, di tempat langsung kehidupan dipergulatkan, diperjuangkan dan
dipotret proses memaknainya. Yang kedua, karena Afriani melukis dengan hati
merenung, menghayati laku introspektif terhadap kehidupan ini dari lapisannya
yang paling apa adanya , yang paling ‘realis’ luka-lukanya hidup ini namun
sekaligus Afriani menangkap dengan batinnya bagaimana mereka-mereka ini,
anak-anak bangsa tercinta ini ingin tetap tabah, tetap hidup dalam menjalani destiny of life dan berani menghayatinya
dengan semangat terus berjuang.
III. Saya membaca dari pameran-pameran
sebelumnya dalam tema luka dan derita hidup yang dijalani oleh pelaku-pelakunya
itu ketika dihayati dalam permenungan batin seorang Afriani (yang selalu
menaruh hati perempuannya sebagai ibu yang melahirkan kehidupan dalam anaknya
dan suami) tapak demi tapak dalam langkah demi langkah pasti berproses pada
pertanyaan mendasar dan mendalam: semangat apa dan daya hidup manakah yang
membuat mereka-mereka ini terus berani hidup dan tidak menyerah!. Dan benarkah,
pada pameran mutakhirnya ini, saya berbahagia sekali menemukan tahapan ‘makna
mendalam’ proses melukisnya Afriani yang ia endapkan dalam kanvas-kanvas
berjudul ‘Be Winner (of life)’.
Lihatlah, bahasa eksplorasi Afriani dalam warna-warni dan lukis realisnya ingin
mengajak kita semua menemukan dalam menghayati hidup ini sikap-sikap pantang
menyerah dan tetap semangat karena sejak proses menjadi ‘manusia’ sebelum
foetus di rahim, secara eksistensial hidup ini sudah merupakan perjuangan untuk
survival. Lihatlah lukisan ‘petarung sejati’, dimana spermatozoid berjuang,
berkompetisi menemukan sel telur untuk memulai hidup itu memberi syarat yaitu
sikap hidup berani bertarung. Proses hidup dalam kandungan yang diluaskan dalam
universum rahim semesta mengajak kita untuk siap bertarung (lihatlah lukisan
siap bertarung). Namun bukan Afriani bila tidak menaruh titik hening yang
menggelitik relung nurani manusia untuk apa kita hidup? Kemana proses hidup ini
dan harkat kemerdekaan pilihan mana yang harus dihadapi ketika evolusi Darwin
misalnya menegaskan teorinya tentang survival
of the fittest, hanya yang kuat yang akan menang dan hidup
terus. Justru Afriani bermaksud menolak pendapat ini, sebab dalam renungannya
mengenai sang pemenang dalam hidup ia menegaskan di lukisannya: siapapun berhak
untuk jadi pemenang. Inikah buah endapan eksplorasinya Afriani dengan masuk dan
live in di hati mereka-mereka yang
berjuang terus untuk hidup? Dia mau menyemangati setiap pelaku hidup ini untuk
menjadi pemenang dalam tidak menyerah pada kemelaratan, persoalan hidup, tragedi
dan musibah. Bukan pemenang dalam lawan hitung-hitungan angka dan politis
menang dan kalah, tetapi pemenang dalam memberi kualitas hidup, memberi makna
benar, menggoreskan warna suci dan sapuan lirih lembut kebaikan bahkan
merayakan indahnya hidup karena terus maju pantang melakukan yang jahat, yang
bathil dalam korupsi di negara ini.
Be winner qualitatively, jadilah pemenang kehidupan secara berkualitas ini dibahasakan
Afriani dalam 3 ziarahnya.
Ziarah pertama: Keimanan untuk
percaya diri menghayati dan memaknai perjalanan lukisan dan hidupnya sebagai
takdir pemenang dengan tandas dan tegas maju melangkah dengan telunjuk memaknai
semesta. Disini ziarah Afriani menjumpai pergulatan-pergulatan (lihat
lukisannya yang meski dalam pergulatan namun senyum tetap menyungging di
wajah-wajah harapan). Lihat pula keberanian ‘mengejar tantangan’ dan
rintangan-rintangan belenggu para pelintas batas, ada yang gagal menyerah namun
ada yang terus melangkah meskipun kaki dihambat borgol-borgol berbeban.
Ziarah kedua: Afriani merasa sadar
diri dalam menjalani hidup ini kadang harus berani ‘mendobrak tradisi’. Menarik
menafsir lukisan penciptaan manusia dengan memberi ruh (daya hidup) Michelangelo
ditembus tembok oleh dobrakan kaki melangkah yang mengoyak lukisan
Michelangelo itu untuk berani menembusnya. Cukupkah dobrakan langkah sekedar
mengoyak tradisi tanpa introspeksi seorang Afriani yang merenungi
langkah-langkah pantang menyerahnya? Tidak cukup hanya melukis dan
mengkanvaskan dalam warna-i pengalaman-pengalaman hidup dalam kuantitas. Afriani
merasa membutuhkan proses panjang hening untuk sampai ke ‘metamorfosa’ agar
proses metamorfosa yang paling disimbolkan dengan tahapan sebagai ulat lalu
kepompong baru kemudian terbanglah kupu-kupu indah bisa dijalani atau diziarahi,
ia butuh mengawali dengan mimpi pantang menyerah untuk berani hidup. Tahap
kepompong harus dipergulatkan karena kepompongnya itu kepompong besi bahkan
menggiurkan dalam kepompong emas. Namun, dobrakan keluar kepompong dibutuhkan
sang pemenang yang pro life (demi
pemuliaan hidup) ini agar proses metamorfosa menjadi ziarah kehidupan sang
pemenang.
Akhirnya, Ziarah ketiga: proses
bangkit dari kepompong untuk keluar dan lahir sebagai kupu-kupu yang terbang
dilengkapi kesetiaan dan kebebasan untuk berjuang mengajak rekan-rekan sebangsa
dan setanah air untuk bergandeng tangan sama-sama berani hidup dengan semangat
pantang menyerah di tanah air Indonesia. Apa itu? ‘Padamu aku berjanji’ sebuah
lukisan dahsyat merangkum proses hidup ulat sutera di daun pemberi makan
Indonesia untuk berjanji berani hidup dan pantang menyerah memuliakannya agar
lahir kupu-kupu indah ragam warna-i keIndonesiaan. Jangan lupa proses
kualitatifnya harus melalui metamorfosa yang berawal dari mimpi.
Selamat berpameran Afriani.
Salam Pro-life
Mudji Sutrisno SJ.
(Budayawan)
Komentar
Posting Komentar