[Event] Pameran Tunggal ke 2 "prahara sunyi" Afriani di Museum Seni Rupa & Keramik - Jakarta 2013












prahara sunyi
Catatan dari lukisan-lukisan Afriani

 
Seseorang akan dengan mudah memahami jika lukisan-lukisan Afriani menunjukkan sebuah ‘potret kehidupan sosial’, khususnya menggambarkan situasi atau peristiwa mengenai orang-orang yang tinggal di Jakarta. Apa yang dikandung dalam gambaran potret semacam ini ? Apa artinya gambar sekumpulan wanita (ibu-ibu) dan anak perempuan yang nampak tengah berkumpulan dengan sikap tubuh biasa dan bersahaja? Apa artinya gambaran seorang anak jalanan dengan alat musik yang masih dibawanya termenung dihadapan patung pahlawan pendidikan Ki Hadjar Dewantoro? Apa artinya seorang pekerja (pemulung) yang bersusah payah menarik gerobak barang-barang bekasnya di hadapan patung pahlawan Muhamad Hatta, sosok pemikir, tokoh penggerak ekonomi bangsa? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah sebagian contoh yanng muncul saat kita memandang karya lukisan-lukisan Afriani. Jawaban bagi pertanyaan itu bisa beraneka ragam, setiap orang bisa memiliki versi-nya sendiri. Lalu, apa makna cara menunjukkan gambaran secara realitik (atau sering disebut realisme) yang dikerjakan Afriani di situ? Bukankah semuanya nampak ‘jelas’ dan bisa dikenal? Pada kenyataannya, gambaran yang realistik itu sekan mencari jawaban dalam setiap pengetahuan, kenangan, atau pengalaman yang dimiliki masing-masing orang. Tak ada yang arti bersifat ‘obyektif’ pada lukisan-lukisan itu.

Karya-karya yang sering hanya disebut sebagai lukisan realis (realisme) itu sebenarnya menunjukkan apa yang dijelaskan peneliti Ernst H.J Gombrich sebagai representasi (representation). Menurutnya, sebuah “representasi menjadikan gambaran yang mirip dari obyek dan lingkungan [yang ditunjukkan atau digambarkannya itu] tidak dengan menjadikannya sebagai tiruan, atau cermin dari imej yang diserupainya, melainkan membuatnya terlihat bermakna sebagai model-model yang bersifat relasional. Seorang seniman menggambar dari kilasan cahaya matahari yang membentuk gradasi bayangan sebuah bentuk dengan cara menjadikan suatu bentuk gambaran cahaya dan bayangan bentuk di dalam suatu kesesuaian hasil. Bentuk akhir yang berupa gambaran yang bersifat ilusif ini menghasilkan tingkat kejelasan bentuk yang jadi kekuatan imej bentuk (gambar) yang bersifat persuasif”(1. Dalam hal ini, seorang pelukis realis, sebagaimana juga dilakukan oleh Afriani, bekerja bukan hanya meniru dan menyesuaikan bentuk dalam pengertian menjiplak; tetapi mengatur kadar cahaya dan ruang gelap yang pada akhirnya menghasilan bentuk gambaran tiga dimensional yang bersifat ilusif di atas bidang kanvasnya. Sebuah lukisan yang nampak realistik itu sebenarnya mengandung cara-cara yang khusus yang dikuasi oleh seorang pelukis untuk menghasilkan kesan penampakkan bentuk yang khas, melalui permainan bidang dan intensitas cahaya. Saat kini, tak lagi banyak pelukis yang membuat karyanya dengan cara melihat obyek (subyek matter karyanya) secara langsung , melainkan melalui ‘catatan’ imej dari sebuah foto.

Pun lukisan-lukisan Afriani dibentuk dari berbagai sumber catatan fotografik (yang tak hanya berupa bentuk foto, tetapi juga gambar-gambar yang dipeoleh dari berbagai sumber, spt: majalah, koran, dll). Ketika catatan imej yang sudah lengkap itu (dengan kadar gelap-terang sudah dihasilkan oleh kamera foto) dilihat oleh Afriani, maka intensitas cahaya semacam apa yang kemudian dipertimbangkannya kemudian? Di sini, saya ingin mengatakan sejenis ‘cahaya’ yang bukan datang atau ada pada obyek gambar yang terlihat (sebagai imej foto), melainkan cahaya yang terbit dari dalam, dari kesadaran diri dan gemuruh penilaian batin. Afriani menghubungkan berbagai imej di dalam bidang kanvasnya  menjadi suatu ‘realitas’ penampakkan yang ‘baru’, yang mungkin tak mudah atau tak bisa kita temukan langsung dalam kehidupan keseharian. Kemudian kita yang melihat lukisan itu seakan menyaksikan realitas yang seolah-olah realistik.

Gambaran realitas yang kemudian disebut sebagai ‘potret sosial’ itu nampak jelas tengah menyarankan kita pada suatu cara penilaian tertentu. Tak ada yang alamiah dari kelompok ibu-ibu dan anak perempuan yang berkumpul di sudut ruang sebuah lingkungan hunian kota yang padat, tak ada yang ‘biasa’ dari perjuangan seorang pemulung dihadapan patung monumen yang melambangkan suatu nilai tertentu, tak ada yang ‘wajar’ bagi seorang anak jalanan yang menatap patung monumen tokoh pendidikan nasional itu. Semua gambaran yang dikerjakan Afriani menyiratkan suatu makna bagi pemahaman kita semua.  Lukisan-lukisan yang dikerjakan Afriani seolah-olah menyiapkan semacam rute penjelajahan kesadaran mengenai lingkungan dan kehadiran ‘Diri’ di antaranya. Di situ, ia berusaha menunjukkan sejenis peta kesadaran menurut versi Afriani yang dijadikan sebagai tawaran bagi cara apresiasi kita tentang nilai-nila tertentu. Estetikus Anthony Savile menjelaskan pengalaman berharga yang bisa diperoleh seseorang (pengamat atau penikmat) dari sebuah ekspresi karya seni. Savile menjelaskan peran dari seni dalam menolong kita untuk mencegah pengapuran atau pelapukkan sikap pemahaman kita tentang dunia kehidupan, serta cara kita merasakan dan menunjukkan simpati kita kepada pihak sesama. Katanya: “seni menolong kita untuk merasakan keadaan kita di dalam situasi orang lain secara subtil”(2. Apa artinya kita memahamai ‘keadaan kita dalam situasi orang lain’ ?
Bagi saya, Afriani secara khas mengajak kita bersimpati pada pihak lain terutama demi terbentuknya cara pemahaman bagi kita sendiri. Tak ada tanda-tanda mengenai rujukan bagaimana sebuah masalah sosial mesti diselesaikan, tak ada muatan kritik sosial yang tengah diumuman Afriani, kecuali penyampaian suatu cara yang subtil dan menghasut simpati kita. Lukisan-lukisan Afriani seakan tengah menunjukkan kecamuk sikap, pandangan, dan emosi dirinya tentang berbagai keadaan sosial yang diamatinya secara mendalam, namun disampaikan melalui pernyataan ekspresi yang dramatik, subtil, namun tidak menggurui.  Saya menyebut pelampiasan emosi dan penilaian kritis Afriani ini dalam istilah ‘prahara’. Jenis ‘prahara’ yang saya maksud memang mengandung pengertian yang tidak biasa, karena hendak menunjukkan cara penyampaian emosi yang kuat dan mendalam namun disampaikannya dengan cara unik yang menerbitkan kesan mendalam.

Ubud, April 2013
Rizki A. Zaelani
Kurator


ENDNOTES:
1.        Ernst H.J Gombrich, Art and Illusion: A Study in the psychology of Pictorial Representation (1960); (Oxford: Phaidon, 1980), hlm.27

2.       Anthony Savile, The Test of Time (Oxford: Clarendon Press, 1982), hlm.96-7



BALADA ANAK-ANAK NEGERI JELATA DALAM LUKISAN AFRIANI
Oleh. Mudji Sutrisno SJ. (Budayawan)

Ada lukisan ibu dan anak didepannya bencana Minang Kabau menyuratkan nestapa dalam gempa dan kabut asap menyayat. Ada sepasang anak kakak adik menonton tv sementara 2 tumpuk buku sekolah ‘tertutup rapat’ tidak disentuh. Ada yang mau diguratkan oleh Afriani dilukisan kontras antara waktu habis untuk sekolah anak-anak tak dibuka? Pastilah ia gelisah pada masa depan pendidikan negeri ini ketika tayangan tv sudah merampas budi dan hati generasi muda! Lalu pertanyaan-pertanyaan menggugat muncul menanyakan siapa mau menjadi jembatan narator sejarah negeri ini ketika anak-anak termangu sendiri di depan Ki Hajar Dewantara atau proklamator dan bapak bangsa Bung Hatta yang memandang sedih tukang gerobak penjual kelontong yang terseok-seok dimana kesejahteraan sosial belum merata sama sekali?
Peristiwa perayaan panjat pinang 17 Agustusan meriah saling menginjak kepala sesamanya untuk meraih hadiah-hadiah dipuncak pendakian yang licin dan meluncurkan kembali tangga manusia ke bawah setiap kali? Inikah cerminan gembira tawa yang menyatu paradoks dengan injakan-injakan kepala sesama yang mirip Sysiphus untuk meraih hadiah di atas kepala orang lain?
Manusia-manusia Afriani dalam lukisan-lukisan rakyatnya adalah manusia-manusia jelata yang hidup dalam serba terbatas : orang-orang pinggiran rel-rel kereta dimana anak-anak kecil bermain, diatas rel yang ‘berbahaya’ bagi nyawa mereka. Namun apa hendak dikata, tidak ada tempat huni lain para jelata kota ini. Manusia-manusia penghuni kampung dengan kegembiraan hiburan komedi kera, saling berbincang dan asyik mengobrol yang memantulkan serba manusiawi, serba apa adanya dalam catatan-catatan realis wajah-wajah kampung yang jelata dalam menghayati kehidupan dengan gaya mereka, ceria, tawa sekaligus satir anak-anak kampung dengan yang tetap sekolah naik satu becak beramai-ramai disisi 6 anak-anak, lihatlah wajah-wajah polos menyatu dalam hidup yang tidak mengenal lagi batasan antara tawa mengarak boneka abang dan none Betawi serta ekspresi ‘kampung merdeka’ dalam kemelaratan sahaja, penuh debu dan kumuh.
Lukisan-lukisan Afriani mengajak Anda untuk tidak bergegas melewatinya satu per satu tetapi bagai magnet hidup mengundang Anda meresapi, masuk ke dalam arus cuatan-cuatan realis kuas cat dengan warna dominan ‘genangan mendung keprihatinan’. Apakah anda akan terus berdialog dengan pelukis muda perempuan berbakat ini untuk ikut ia bawa ke dialog-dialog hati peduli pada wajah-wajah saudara-saudari kita yang serba riuh merakyat, berharta sapa manusiawi dan kerja keras tukang-tukang bajaj jenis angkutan kelas bawah tengah dan bukan mal-mal serta gedung-gedung rumah elit mentengnya? Namun Afriani tidak mau menghentikan gugatan peduli nasib orang-orang kecilnya hanya pada deskripsi gambar-gambar realis ‘statis’. Afriani mendobraknya dengan sosok-sosok manusia yang menerobos keluar dari kartun kardus simbol bungkus-bungkus paket bekas yang dijual setelah dipakai mengirim barang-barang mahal tv, kulkas dan lain sebagainya. Sosok-sosok manusia ini tidak mau menyerah.
Keluarga mereka bergerak (lihat lukisan NOMADEN), keluarga manusia gerobak bapak menarik gerobak, 2 anak penumpang dan si ibu disampingnya.inilah gerobak berjalan sekaligus kemah tidur malam mereka dan sekaligus untuk mencari nafkah dari mereka pemulung-pemulung yang paling dahsyat mendidik kita untuk daur ulang alam ini. Keringat mereka dan peminggiran mereka digugat dalam ketidakadilan dimana daur keadilan ternyata memilih membela yang kuasa dan kaya dalam soal pencurian buah coklat tidak seberapa tetapi dihukum berat buat pelakunya yang orang kecil (lukisan ‘Balada Ratu Adil’ 2009).
Realisme Afriani dalam sosok-sosok manusia yang terpinggir namun tetap tahan banting, pada wajah-wajah jelata yang punya caranya sendiri untuk berbahagia dalam kenestapaan, jelas-jelas melantunkan lukisan-lukisan yang berkidung manusia-manusia jelata tahan banting yang berada diantara kita, di kampung-kampung, di bantalan-bantalan rel kereta api tetapi pula yang bila hujan anak-anak itu cari nafkah menjadi ojek payung. Mereka-mereka penuh semangat tatap berani hidup meski dalam kekurangan dan keterbatasan. Afriani mampu menghadirkan mereka dengan hati peduli yang memihak mereka. Ia mengajak kita untuk mau peduli mereka, terlebih menyadarkan mereka-mereka ini adalah sesama saudara kita di ibu kota yang kerap kejam sekali!
Balada atau kisah mereka-mereka yang jelata dan yang miskin menjadi balada Afriani untuk mengajak kita di ibu kota untuk tidak hanya melihat sebelah mata pada wajah-wajah ‘kampung’ ini, tidak pula hanya menonton mereka tetapi masuk menyatu hati dalam empati dan peduli dengan hati pada anak-anak dan sosok-sosok anak bangsa yang sama-sama anak-anak kemerdekaan hasil darah dan pengorbanan para pendiri bangsa agar mereka tidak dikelas duakan!

Salam
Mudji Sutrisno SJ. 




Pameran dibuka oleh Ibu Lidia Hanifa (Wakil Ketua DPR 2014-2019)
Tempat : Museum Seni Rupa & Keramik - Jakarta
Waktu : April 2013


Salam
Afriani 










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Metamorfosa