[Event] Pameran Tunggal ke 2 "prahara sunyi" Afriani di Museum Seni Rupa & Keramik - Jakarta 2013
liputan media ---> http://skalanews.com/berita/intermezo/panggung/143820-prahara-sunyi-yang-ditawarkan-afriani
prahara sunyi
Catatan dari lukisan-lukisan Afriani
Seseorang akan dengan mudah memahami jika lukisan-lukisan Afriani
menunjukkan sebuah ‘potret kehidupan sosial’, khususnya menggambarkan situasi
atau peristiwa mengenai orang-orang yang tinggal di Jakarta. Apa yang dikandung
dalam gambaran potret semacam ini ? Apa artinya gambar sekumpulan wanita
(ibu-ibu) dan anak perempuan yang nampak tengah berkumpulan dengan sikap tubuh
biasa dan bersahaja? Apa artinya gambaran seorang anak jalanan dengan alat
musik yang masih dibawanya termenung dihadapan patung pahlawan pendidikan Ki
Hadjar Dewantoro? Apa artinya seorang pekerja (pemulung) yang bersusah payah
menarik gerobak barang-barang bekasnya di hadapan patung pahlawan Muhamad
Hatta, sosok pemikir, tokoh penggerak ekonomi bangsa? Pertanyaan-pertanyaan
semacam ini adalah sebagian contoh yanng muncul saat kita memandang karya
lukisan-lukisan Afriani. Jawaban bagi pertanyaan itu bisa beraneka ragam,
setiap orang bisa memiliki versi-nya sendiri. Lalu, apa makna cara menunjukkan
gambaran secara realitik (atau sering disebut realisme) yang dikerjakan Afriani
di situ? Bukankah semuanya nampak ‘jelas’ dan bisa dikenal? Pada kenyataannya,
gambaran yang realistik itu sekan mencari jawaban dalam setiap pengetahuan,
kenangan, atau pengalaman yang dimiliki masing-masing orang. Tak ada yang arti
bersifat ‘obyektif’ pada lukisan-lukisan itu.
Karya-karya yang sering
hanya disebut sebagai lukisan realis (realisme) itu sebenarnya menunjukkan apa
yang dijelaskan peneliti Ernst H.J Gombrich sebagai representasi (representation). Menurutnya, sebuah “representasi menjadikan gambaran yang mirip dari obyek dan lingkungan
[yang ditunjukkan atau digambarkannya itu] tidak dengan menjadikannya sebagai
tiruan, atau cermin dari imej yang diserupainya, melainkan membuatnya terlihat bermakna
sebagai model-model yang bersifat relasional. Seorang seniman menggambar dari kilasan
cahaya matahari yang membentuk gradasi bayangan sebuah bentuk dengan cara
menjadikan suatu bentuk gambaran cahaya dan bayangan bentuk di dalam suatu
kesesuaian hasil. Bentuk akhir yang berupa gambaran yang bersifat ilusif ini
menghasilkan tingkat kejelasan bentuk yang jadi kekuatan imej bentuk (gambar)
yang bersifat persuasif”(1. Dalam hal ini, seorang pelukis realis, sebagaimana
juga dilakukan oleh Afriani, bekerja bukan hanya meniru dan menyesuaikan bentuk
dalam pengertian menjiplak; tetapi mengatur kadar cahaya dan ruang gelap yang
pada akhirnya menghasilan bentuk gambaran tiga dimensional yang bersifat ilusif
di atas bidang kanvasnya. Sebuah lukisan yang nampak realistik itu sebenarnya
mengandung cara-cara yang khusus yang dikuasi oleh seorang pelukis untuk
menghasilkan kesan penampakkan bentuk yang khas, melalui permainan bidang dan
intensitas cahaya. Saat kini, tak lagi banyak pelukis yang membuat karyanya
dengan cara melihat obyek (subyek matter
karyanya) secara langsung , melainkan melalui ‘catatan’ imej dari sebuah foto.
Pun lukisan-lukisan Afriani dibentuk dari berbagai sumber
catatan fotografik (yang tak hanya berupa bentuk foto, tetapi juga
gambar-gambar yang dipeoleh dari berbagai sumber, spt: majalah, koran, dll).
Ketika catatan imej yang sudah lengkap itu (dengan kadar gelap-terang sudah
dihasilkan oleh kamera foto) dilihat oleh Afriani, maka intensitas cahaya semacam
apa yang kemudian dipertimbangkannya kemudian? Di sini, saya ingin mengatakan
sejenis ‘cahaya’ yang bukan datang atau ada pada obyek gambar yang terlihat
(sebagai imej foto), melainkan cahaya yang terbit dari dalam, dari kesadaran
diri dan gemuruh penilaian batin. Afriani menghubungkan berbagai imej di dalam
bidang kanvasnya menjadi suatu
‘realitas’ penampakkan yang ‘baru’, yang mungkin tak mudah atau tak bisa kita
temukan langsung dalam kehidupan keseharian. Kemudian kita yang melihat lukisan
itu seakan menyaksikan realitas yang seolah-olah realistik.
Gambaran
realitas yang kemudian disebut sebagai ‘potret sosial’ itu nampak jelas tengah
menyarankan kita pada suatu cara penilaian tertentu. Tak ada yang alamiah dari
kelompok ibu-ibu dan anak perempuan yang berkumpul di sudut ruang sebuah
lingkungan hunian kota yang padat, tak ada yang ‘biasa’ dari perjuangan seorang
pemulung dihadapan patung monumen yang melambangkan suatu nilai tertentu, tak
ada yang ‘wajar’ bagi seorang anak jalanan yang menatap patung monumen tokoh
pendidikan nasional itu. Semua gambaran yang dikerjakan Afriani menyiratkan
suatu makna bagi pemahaman kita semua. Lukisan-lukisan
yang dikerjakan Afriani seolah-olah menyiapkan semacam rute penjelajahan
kesadaran mengenai lingkungan dan kehadiran ‘Diri’ di antaranya. Di situ, ia berusaha
menunjukkan sejenis peta kesadaran menurut versi Afriani yang dijadikan sebagai
tawaran bagi cara apresiasi kita tentang nilai-nila tertentu. Estetikus Anthony
Savile menjelaskan pengalaman berharga yang bisa diperoleh seseorang (pengamat
atau penikmat) dari sebuah ekspresi karya seni. Savile menjelaskan peran dari
seni dalam menolong kita untuk mencegah pengapuran atau pelapukkan sikap
pemahaman kita tentang dunia kehidupan, serta cara kita merasakan dan
menunjukkan simpati kita kepada pihak sesama. Katanya: “seni menolong kita untuk merasakan keadaan kita di dalam situasi orang
lain secara subtil”(2. Apa artinya kita memahamai ‘keadaan kita dalam
situasi orang lain’ ?
Bagi saya, Afriani secara khas mengajak
kita bersimpati pada pihak lain terutama demi terbentuknya cara pemahaman bagi
kita sendiri. Tak ada tanda-tanda mengenai rujukan bagaimana sebuah masalah
sosial mesti diselesaikan, tak ada muatan kritik sosial yang tengah diumuman
Afriani, kecuali penyampaian suatu cara yang subtil dan menghasut simpati kita.
Lukisan-lukisan Afriani seakan tengah menunjukkan kecamuk sikap, pandangan, dan
emosi dirinya tentang berbagai keadaan sosial yang diamatinya secara mendalam,
namun disampaikan melalui pernyataan ekspresi yang dramatik, subtil, namun
tidak menggurui. Saya menyebut
pelampiasan emosi dan penilaian kritis Afriani ini dalam istilah ‘prahara’.
Jenis ‘prahara’ yang saya maksud memang mengandung pengertian yang tidak biasa,
karena hendak menunjukkan cara penyampaian emosi yang kuat dan mendalam namun
disampaikannya dengan cara unik yang menerbitkan kesan mendalam.
Ubud,
April 2013
Rizki
A. Zaelani
Kurator
ENDNOTES:
1. Ernst H.J Gombrich, Art and Illusion: A
Study in the psychology of Pictorial Representation (1960); (Oxford:
Phaidon, 1980), hlm.27
2.
Anthony Savile, The Test of Time (Oxford: Clarendon
Press, 1982), hlm.96-7
BALADA ANAK-ANAK NEGERI JELATA DALAM
LUKISAN AFRIANI
Oleh. Mudji Sutrisno SJ. (Budayawan)
Ada
lukisan ibu dan anak didepannya bencana Minang Kabau menyuratkan nestapa dalam
gempa dan kabut asap menyayat. Ada sepasang anak kakak adik menonton tv
sementara 2 tumpuk buku sekolah ‘tertutup rapat’ tidak disentuh. Ada yang mau
diguratkan oleh Afriani dilukisan kontras antara waktu habis untuk sekolah
anak-anak tak dibuka? Pastilah ia gelisah pada masa depan pendidikan negeri ini
ketika tayangan tv sudah merampas budi dan hati generasi muda! Lalu
pertanyaan-pertanyaan menggugat muncul menanyakan siapa mau menjadi jembatan
narator sejarah negeri ini ketika anak-anak termangu sendiri di depan Ki Hajar
Dewantara atau proklamator dan bapak bangsa Bung Hatta yang memandang sedih
tukang gerobak penjual kelontong yang terseok-seok dimana kesejahteraan sosial
belum merata sama sekali?
Peristiwa
perayaan panjat pinang 17 Agustusan meriah saling menginjak kepala sesamanya
untuk meraih hadiah-hadiah dipuncak pendakian yang licin dan meluncurkan
kembali tangga manusia ke bawah setiap kali? Inikah cerminan gembira tawa yang
menyatu paradoks dengan injakan-injakan kepala sesama yang mirip Sysiphus untuk
meraih hadiah di atas kepala orang lain?
Manusia-manusia
Afriani dalam lukisan-lukisan rakyatnya adalah manusia-manusia jelata yang
hidup dalam serba terbatas : orang-orang pinggiran rel-rel kereta dimana
anak-anak kecil bermain, diatas rel yang ‘berbahaya’ bagi nyawa mereka. Namun
apa hendak dikata, tidak ada tempat huni lain para jelata kota ini.
Manusia-manusia penghuni kampung dengan kegembiraan hiburan komedi kera, saling
berbincang dan asyik mengobrol yang memantulkan serba manusiawi, serba apa
adanya dalam catatan-catatan realis wajah-wajah kampung yang jelata dalam
menghayati kehidupan dengan gaya mereka, ceria, tawa sekaligus satir anak-anak
kampung dengan yang tetap sekolah naik satu becak beramai-ramai disisi 6
anak-anak, lihatlah wajah-wajah polos menyatu dalam hidup yang tidak mengenal
lagi batasan antara tawa mengarak boneka abang dan none Betawi serta ekspresi
‘kampung merdeka’ dalam kemelaratan sahaja, penuh debu dan kumuh.
Lukisan-lukisan
Afriani mengajak Anda untuk tidak bergegas melewatinya satu per satu tetapi
bagai magnet hidup mengundang Anda meresapi, masuk ke dalam arus cuatan-cuatan
realis kuas cat dengan warna dominan ‘genangan mendung keprihatinan’. Apakah
anda akan terus berdialog dengan pelukis muda perempuan berbakat ini untuk ikut
ia bawa ke dialog-dialog hati peduli pada wajah-wajah saudara-saudari kita yang
serba riuh merakyat, berharta sapa manusiawi dan kerja keras tukang-tukang
bajaj jenis angkutan kelas bawah tengah dan bukan mal-mal serta gedung-gedung
rumah elit mentengnya? Namun Afriani tidak mau menghentikan gugatan peduli
nasib orang-orang kecilnya hanya pada deskripsi gambar-gambar realis ‘statis’.
Afriani mendobraknya dengan sosok-sosok manusia yang menerobos keluar dari
kartun kardus simbol bungkus-bungkus paket bekas yang dijual setelah dipakai
mengirim barang-barang mahal tv, kulkas dan lain sebagainya. Sosok-sosok
manusia ini tidak mau menyerah.
Keluarga
mereka bergerak (lihat lukisan NOMADEN), keluarga manusia gerobak bapak menarik
gerobak, 2 anak penumpang dan si ibu disampingnya.inilah gerobak berjalan
sekaligus kemah tidur malam mereka dan sekaligus untuk mencari nafkah dari
mereka pemulung-pemulung yang paling dahsyat mendidik kita untuk daur ulang
alam ini. Keringat mereka dan peminggiran mereka digugat dalam ketidakadilan
dimana daur keadilan ternyata memilih membela yang kuasa dan kaya dalam soal
pencurian buah coklat tidak seberapa tetapi dihukum berat buat pelakunya yang
orang kecil (lukisan ‘Balada Ratu Adil’ 2009).
Realisme
Afriani dalam sosok-sosok manusia yang terpinggir namun tetap tahan banting,
pada wajah-wajah jelata yang punya caranya sendiri untuk berbahagia dalam
kenestapaan, jelas-jelas melantunkan lukisan-lukisan yang berkidung
manusia-manusia jelata tahan banting yang berada diantara kita, di kampung-kampung,
di bantalan-bantalan rel kereta api tetapi pula yang bila hujan anak-anak itu
cari nafkah menjadi ojek payung. Mereka-mereka penuh semangat tatap berani
hidup meski dalam kekurangan dan keterbatasan. Afriani mampu menghadirkan
mereka dengan hati peduli yang memihak mereka. Ia mengajak kita untuk mau
peduli mereka, terlebih menyadarkan mereka-mereka ini adalah sesama saudara
kita di ibu kota yang kerap kejam sekali!
Balada
atau kisah mereka-mereka yang jelata dan yang miskin menjadi balada Afriani
untuk mengajak kita di ibu kota untuk tidak hanya melihat sebelah mata pada
wajah-wajah ‘kampung’ ini, tidak pula hanya menonton mereka tetapi masuk
menyatu hati dalam empati dan peduli dengan hati pada anak-anak dan sosok-sosok
anak bangsa yang sama-sama anak-anak kemerdekaan hasil darah dan pengorbanan
para pendiri bangsa agar mereka tidak dikelas duakan!
Salam
Mudji Sutrisno
SJ.
Pameran dibuka oleh Ibu Lidia Hanifa (Wakil Ketua DPR 2014-2019)
Tempat : Museum Seni Rupa & Keramik - Jakarta
Waktu : April 2013
Salam
Afriani
Pameran dibuka oleh Ibu Lidia Hanifa (Wakil Ketua DPR 2014-2019)
Tempat : Museum Seni Rupa & Keramik - Jakarta
Waktu : April 2013
Salam
Afriani
Komentar
Posting Komentar